11.24.2008

JATI DIRI = MAKAN DENGAN TANGAN KANAN?

Kalau Anda tinggal di Depok, atau berkunjung ke daerah yang katanya satelitnya Jakarta ini, temukanlah beberapa buah baliho raksasa di lokasi-lokasi strategis. Setidaknya, saya mencatat ada 3 baliho yang akan saya bahas pada tulisan ini. Sungguh luar biasa baliho ini.

Gambarnya adalah walikota Depok dengan beberapa jajarannya. Belakangan, Pak Nur Mahmudi, sang walikota yang saya maksud, memang sering tampil lewat baliho-baliho raksasa. Tentu saja cuma di wilayah kerjanya, di Depok. Dulu Pak Nur sempat mempromosikan Depok sebagai kota belimbing. Balihonya ada di pertigaan lampu merah Margoda, setelah Depok Mal, sebelum terminal. Jujur, saya tidak begitu tahu persis, apakah memang benar belimbing banyak ditanam oleh warga Depok, sehingga Depok pantas dijuluki "kota belimbing". Atau, misalnya, buah belimbing gampang ditemui di seantero Depok. Tapi, itu tak mengapalah. Sah-sah saja Pak Nur menjadikan Depok sebagai "kota belimbing".

Nah, kalau baliho yang satu ini - muncul setidaknya sebulan belakangan - begitu menggelitik pemikiran saya. Isinya amat provokatif. Tulisannya begini: "Kembalikan Jati Diri Bangsa. Gunakan tangan kanan untuk makan". Nah lho. Tidakkah ini suatu ungkapan yang luar biasa? Terus terang, saya jadi terkaget-kaget sewaktu pertama kali membaca tulisan pada baliho itu.

Pertanyaannya amat gampang: apa iya jati diri bangsa = makan dengan tangan kanan? Bagi saya, kok ini rasanya begitu sempit ya? Perihal makan dengan tangan kanan, setahu saya, junjungan saya, Nabi Muhammad SAW, memang menganjurkannya demikian. Jadi, ini adalah sebuah kelumrahan - utamanya bagi umat Muslim.

Saya jadi meneruskan pertanyaan dalam hati saya: mengapa tidak misalnya mengukur jati diri bangsa dengan sesuatu yang lebih besar. Umpamanya, pada baliho itu tertulis: "Kembalikan Jati Diri Bangsa. Jangan Umbar Sumberdaya Alam kepada Pihak Asing". Atau: "Kembalikan Jati Diri Bangsa. Jangan Simpan Dolar. Jangan Taruh Modal di Negeri Tetangga".

Waduh, kok ngeri amat ya? Boleh jadi begitu. Tapi, bukankah yang saya sebut di atas lebih luas daya cakupnya? Atau, barangkali saja Pak Nur tidak mau begitu mencolok, mengumbar kata-kata yang rada agitatif.

Namun, persoalannya kemudian adalah ketidakpedulian warga Depok. Buat apa juga mikir harus makan dengan tangan apa - kiri atau kanan - demi mengembalikan jati diri bangsa. Saya yakin, pasti ada warga Depok (atau wilayah lain yang sedang main ke Depok), dalam hatinya ngerasanin: idih, jangankan makan dengan tangan kanan, mau makan apa hari ini kami tidak tahu. Alias, pasti ada orang yang sama sekali tak tahu apa yang bisa dimakannya, membaca baliho itu. Lha, bagaimana mau menyuapkan makanan dengan tangan kanan, kalau yang dimakan tidak ada. Masak sih harus seolah-olah ada makanan, lalu dimasukkan ke mulut dengan tangan kanan?

Jadi, alangkah lebih eloknya kalau balihonya berbunyi: "Kembalikan Jati Diri Bangsa. Jangan Biarkan Anak Bangsa Kelaparan".

10.08.2008

Narsisme Politisi

Kata para ABG sekarang: nggak narsis ya nggak eksis. Pasti filosofi inilah yang kini banyak dianut oleh muka-muka-tak-dikenal yang kini bertebaran di banyak sudut kota dan kampung. Namanya macam-macam, dan boleh dipastikan suluit dikenal lantaran tidak populer. Toh, kendati tidak ngetop, wajah mereka menyaingi bintang terkenal macam Luna Maya, Tamara Blezinsky, Ari Wibowo.

Ya, merekalah para politisi yang kini jualan tampang. Pastinya mereka tidak setampan Ari Wibowo atau secantik Luna Maya. Tapi, narsisme sudah kadung menjamur di negeri ini. Biar tidak dikenal, yang penting berani nampang. Semboyannya kira-kira begitulah.

Tak peduli uang keluar miliaran rupiah, hanya untuk membuat spanduk atau baliho. Belum lagi biaya perizinan untuk memasang media kampanye luar ruang tadi. Ah, yang penting tampang jadi bisa diingat orang.

Soalnya sederhana. Kalau mereka tidak dikenal orang, ya mana mungkin mereka dipilih orang pada pemilu nanti. Dan, satu-satunya cara gampang untuk beken, ya bikin spanduk, lalu dipasang di lokasi strategis yang sering dilalui orang banyak.

Kita sebagai pemilik ruang publik yang dijejali begitu banyak spanduk-jualan-tampang itu, apakah merasa terganggu? Sebagian mungkin tak peduli, artinya juga bisa jadi tidak merasa terganggu. Tapi, bisa jadi sebagian lagi - misalnya saya - menjadi tidak-enak-mata gara-gara begitu banyak gangguan di depan indera penglihatan saya. Padahal, pemandangan yang dihalangi spanduk itu, rata-rata menyejukkan mata karena berupa tanaman atau pohon.

Kalaulah yang saya pandang wajah ayu Luna Maya, tentu tak jadi masalah. Malah bisa menghilangkan pegal mata. Tapi, kalau yang terpaksa saya lihat adalah bukan siapa-siapa, yang tengah jualan tampang, ah... kok rasanya sungguh tidak indah. Apakah itu mengganggu hak asasi saya? Boleh jadi iya. Soalnya, ya itu tadi. Saya jadi kehalangan untuk memandang yang indah, sejuk, dan hijau, di tengah belantara beton ibukota.

Narsismekah para politisi itu? Kalau patokan narsisme semata-mata hanyalah berdasarkan lukisan karya Michelangelo Caravaggio yang menggambarkan Pangeran Narcissus sedang mengangumi bayangan dirinya sendiri di lantai, mungkin tidak. Tapi, jika paradigme narsisme agak kita geser sedikit, bisa jadi para politisi ini narsisme. Biasanya, orang yang narsis tidak punya rasa percaya pada diri sendiri. Orang narsis suka dengan foto diri. Nah, bukankah spanduk para politisi itu sama dengan foto diri? Bahkan, tak cukup dengan ukuran biasa. Foto para politisi dipajang dalam ukuran besar, dengan pose yang tak kalah hebatnya dari Luna Maya.

Bisakah dibuat aturan yang jelas soal pemasangan spanduk narsisme itu? Kalau tidak ada aturan, ngeri juga jadinya. Siapa pun politisi yang punya uang banyak, bisa memasang spanduk dirinya di mana-mana. Bahkan, dalam ukuran raksasa. Duh, negeri ini memang kian aneh saja....

Pelanginya Laskar Pelangi

Saya tak ingin berkomentar terlalu banyak soal sinematografi dan alur cerita film Laskar Pelangi. Sinematografi film ini sungguh rancak. Keindahan Belitong, landskap banyak tempat, pun detil2 yang memang seharusnya ada untuk memperindah film, ditampilkan dengan apik. Paling cuma soal jalan aspal yang kelihatannya begitu mulus dan hitam, yang sedikit mengganjal. Rasanya, jalan aspal pada tahun 1970-an, setting tahun LP, belum seperti itu. Tapi, tak mengapalah. Toh, pasti Riri Riza dan timnya kesulitan untuk mendapatkan jalan aspal persis seperti tahun 1970-an.

Alur cerita di awal film memang terasa lamban - kalau tidak mau dibilang membosankan. Tapi, ini amat wajar. Riri boleh jadi kesulitan menerjemahkan bagian awal novel karya Andrea Hirata itu karena begitu banyak tokoh yang ingin dikenalkan Andrea pada novelnya.

Kini, tinggalkanlah perdebatan soal visual atau alur cerita filmnya. Mari kita masuk ke esensi film itu sendiri. Saya adalah orang yang menganut asas film harus punya muatan mencerdaskan, menggugah, atau apa pun lah namanya. Bagi saya, film tak bisa semata-mata hadir hanya karena keindahannya. Dan, Laskar Pelangi muncul tak hanya karena indah. Muatan yang ditampilkan pada film ini sungguh padat: falsafati pendidikan, kemiskinan, perbedaan kelas, bahkan sampai pada cinta yang diam.

Apakah memang muatan itu yang sedari awal ingin ditampilkan Andrea melalui novelnya? Saya tidak begitu yakin. Saya lebih percaya bahwa Andrea hanya ingin menukilkan pengalaman masa kecilnya di Belitong - pengalaman yang saya percayai juga pernah terjadi pada sebagian besar kita saat masih kecil dan tinggal di pelosok. (Dulu ada novel pendek berjudul Opera Kampung Manggis, karya Arya Gunawan, yang mengisahkan tentang pengalaman masa kecil di Jambi).

Simak pula para tokoh anak-anak pada novel LP. Lintang? Ah, bagi yang pernah membaca biografi B.J. Habibie, pasti tahu kalau presiden ketiga RI itu punya pengalaman yang mirip Lintang: menempuh perjalanan jauh untuk bersekolah. Atau, cinta monyet Ikal dan A Ling? Saya jadi teringat seorang teman perempuan keturunan Tionghoa, yang dulu sempat saya taksir semasa SD. Borek alias Samson? Pemakaian bola kasti untuk memperbesar otot, dulu juga pernah dilakukan kawan saya di kampung. Figur para guru: Pak Harfan, Bu Mus, Pak Bakri - pastinya banyak di seantero Nusantara - bahkan sampai sekarang.

Jadi, sejatinya tak ada yang begitu istimewa pada penokohan LP. Lantas, mengapa kisah ini bisa begitu menginspirasi? Jawabnya gampang: kesederhanaan menjadi pintu utamanya. Kesederhanaan menatap hidup, kesederhanaan perilaku, kesederhanaan penjiwaan pendidikan, bahkan sampai kepada kesederhanaan cinta - yang lagi-lagi sebagian diam.

Kesederhanaan ini pula yang akhirnya akan menjadi kebersahajaan. Kesederhanaan ini pula yang akhirnya akan menggumpalkan harapan (ayah Lintang yang begitu kukuh pendirian supaya anaknya bisa bersekolah). Kesederhanaan ini pula yang akhirnya akan mendedahkan kemurnian hati.

Tak salah bila Fadjroel Rachman berucap, politisi yang menonton film ini tapi tidak menangis, tentunya hatinya sudah membatu (Kompas, 8/10). (Di tengah bising suasana politik menjelang pemilu dan pilpres 2009, film LP sedikit banyak mengurai kejengkelan kita terhadap spanduk narsis para politisi yang bertebaran di sepanjang jalan).

(Memang, ada politisi yang begitu peduli dengan LP. Malah, sang politisi bersedia memdanai kalau LP akan dibuat sekuelnya. Setelah membaca beritanya, saya buru-buru sms Riri. Saya bilang, jangan sampai keindahan substantif LP dicemari nilai-nilai politik praktis, dengan cara menerima tawaran sang politisi yang iklannya ada di mana-mana itu. Untunglah Riri tanggap, dan menjamin saya tidak akan menerima tawaran itu.)

Biarkanlah film Laskar Pelangi berada pada kodratnya sendiri: menjadi pelipur di tengah carut-marut bangsa. Kalaulah langit berwarna biru, atau putih, atau gabungan keduanya, biarlah LP menjadi pelanginya: spektrum cahaya kontinyu yang muncul di langit sewaktu matahari bersinar ke atas titik air hujan yang jatuh. Ibarat pelangi, tak satu - atau dua warna - saja yang ada di langit.

7.23.2008

RYAN

Ryan sudah bikin heboh. Tak cuma seorang Heri. Terkuaklah bahwa korban pembunuhan Ryan bahkan bisa mencapai lebih dari lima orang.

Ryan memang sadis. Dia mengiris, sambil meringis. Tak pernah ada dalam benaknya, membunuh - apalagi sampai memotong tubuh korban menjadi beberapa bagian - jelaslah sebuah pekerjaan bengis. Pun, membawa dan mengubur potongan mayat korban di sekitar septic tank rumahnya nun di Jombang, pastilah kegiatan tak waras tingkat tinggi.

Jack the Ripper adalah tokoh penting pola pembunuhan seperti yang dilakukan Ryan. Tapi, ihwal siapa sebenarnya Jack the Ripper, hingga kini masih buram. Yang ada cuma para korbannya, yang bertebaran di seantero London. Tak pernah terungkap, siapa sebenarnya Jack the Ripper.

Lalu, ada lagi nama Jeffrey Dahmer. Sebagian orang menjuluki pria kelahiran 1960 di Amerika Serikat ini sebagai titisan Jack the Ripper. Bedanya, Jeffrey tertangkap, dan dihukum mati pada November 1994.

Mari ditelaah sejenak siapa Jefrrey Dahmer. Masa kanak-kanaknya dihabiskan di Ohio. Di kota inilah, Jeffrey mulai menunjukkan gelagat membahayakan: memutilasi hewan yang telah tak bernyawa.

Beranjak remaja, perilaku Jeffrey makin tak karuan. Ia biasa mabuk. Dan, pada masa inilah, orientasi seksualnya berubah: mencintai sesama jenis. Tak jarang, usai mabuk, Jeffrey membawa pasangan sejenisnya ke rumahnya. Dan, amat sering sesudahnya, pasangan kencan sesama jenisnya dibunuh dan dimutilasi. Diduga, sampai Jeffrey dicabut paksa nyawanya melakui hukuman mati, sudah 23 orang menjadi korbannya.

Ryan memiliki kemiripan dengan Jeffrey: sama-sama homoseksual. Tapi, patutkah - atau lebih tepatnya benarkah - seorang homoseksual memiliki kecenderungan menjadi pembunuh dan pemutilasi? Memang belum ada penelitian yang menjurus langsung ke persoalan ini. Kalau pun ada perbandingan kecil-kecilan antara Ryan dan Jeffrey Dahmer, boleh ini ini tidaklah perbandingan yang benar-benar valid.

Soal cemburu yang diduga menjadi latar belakang Ryan, juga tak lantas bisa dihubungkan dengan ke-gay-an Ryan. Sifat posesif bisa jadi dimiliki setiap orang, yang normal maupun yang menyimpang secara seksual. Suami mana yang tak terusik jika istrinya diganggu orang? Begitu pula sebaliknya.

Lantas, apa yang terjadi pada Ryan? Ekstase biasanya bisa dicapai seseorang yang ternyata berhasil lolos ketika pertama kali melakukan kejahatan. Ibarat candu, kejahatan itu akhirnya merasuki benak. Kenikmatan pun didapat. Alhasil, jadilah Ryan seorang pembunuh bertangan dingin.

Fenomena Ryan memang luar biasa. Tapi, sedikit banyak, inilah sebuah gambaran betapa sakitnya bangsa kita. Tingkat stres yang kian tinggi, membuat jalan pintas lebih dicari. Ryan butuh uang untuk membiayai gaya hidupnya yang metropolis. Sulit mencari uang halal, ia pun bersedia meminjam uang, dengan imbalan tubuh atletisnya, kepada pria yang menginginkannya. Tak mampu membayar pinjaman, jalan paling gampang ia tempuh: membunuh, lalu memotong-motong tubuh korban guna menghilangkan jejak.

Boleh jadi, tak sedikit Ryan lain di sekitar kita. Yang lebih gawat adalah, perbuatan sadis Ryan menjadi inspirasi bagi orang lain. Tentunya untuk mengikuti jejak Ryan sebagai pembunuh dan pemutilasi. Kalau sudah begini, makin yakinlah kita bangsa ini butuh obat mujarab untuk menyembuhkan penyakit kronisnya yang telah menahun.***

11.09.2007

Doa

Mataku berkaca-kaca. Mungkin lantaran terharu. Penyebabnya adalah kisah yang disampaikan Ustad Yusuf Mansyur, saat kotbah Jumat hari ini. Sebuah kisah sederhana, kejadian sebenarnya, namun sarat makna.

Seorang anak manusia tengah kalut memikirkan nasib putranya yang baru saja lahir. Bahkan, sebelum sang putra nongol ke muka bumi yang juga tengah kalut ini, sang bapak sudah kelimpungan. Uang di tangan cuma Rp 2 juta. Sang istri dibawa ke bidan, untuk melahirkan. Tapi, bidan ternyata tidak sanggup. Calon manusia di dalam perut sang istri rupanya bermasalah. Bidan menyarankan operasi cesar.

Pergilah sang bapak membawa istrinya ke RSCM. Benar ternyata. Sang bayi lahir dalam kondisi kesehatan yang parah. Ada gangguan otak dan jantung. Berat badan bayi ketika lahir 2,5 kg. Namun, beberapa hari kemudian beratnya susut jadi hanya 1,3 kg. Tak terbayangkan sedihnya hati ibu sang bayi, yang dilarang mendekap bayi karena kulitnya bisa susut kalau disentuh.

Hati sang bapak pun sama saja. Dia tidak tahu apa yang terjadi. Tapi, keikhlasan dan ketundukannya kepada Sang Khalik rupanya tak pernah goyah. Dengan berurai air mata, ia memohon kesembuhan putranya kepada Allah. Oleh Sang Pencipta, doa pun terkabul. Perlahan tapi pasti, putranya beranjak sembuh.

Sampailah pada minggu ketiga putranya di RSCM. Lalu, ia diberitahu oleh petugas rumah sakit, anaknya sudah bisa dibawa pulang. Kegembiraan membuncah. Tapi, cuma sesaat. Ketika ia menanyakan biaya perawatan anaknya, sang bapak terkejut alang kepalang. Rp 27 juta rupiah harus ia siapkan, supaya anaknya bisa keluar dari rumah sakit.

Lagi-lagi, hanya doa dan tangisan tawaduk. Sang bapak tak tahu harus mengadu ke mana, selain hanya kepada Allah.

Esoknya, pergilah ia menemui seorang sahabatnya. Beban pun ia tumpahkan. Namun, sang sahabat bukanlah orang berpunya. Setelah menguras semua tabungan, sang sahabat hanya mampu mengumpulkan uang Rp 2 juta. Ia berikan uang itu, bukan sebagai pinjaman, tapi pemberian. Sang bapak tambah bingung. Manalah cukup uang itu untuk menebus anaknya.

Ia pun berlalu dari rumah sahabatnya di kawasan Ciledug. Saking bingungnya, ia berjalan kaki ke RSCM. Entah apa sebabnya, sepanjang perjalanan, uang Rp 2 juta pemberian sahabatnya malah dibagi-bagikannya kepada orang. Setibanya di RSCM, uang di tangannya cuma tersisa Rp 10 ribu.

Tak tahu harus bagaimana, sang bapak langsung menuju mesjid RSCM. Ia solat, lalu berdoa. Tangis pun kembali pecah. Dalam doanya, sang bapak bahkan sampai rela menyerahkan anaknya, asalkan ada orang yang mau menebus.

Usai berdoa, sang bapak hanya tertunduk diam. Rupanya, ada seorang ibu yang memerhatikan kegundahan si bapak. Ibu itu pun lalu menghampirinya, bertanya apa yang menyebabkannya resah. Lantas, berkisahlah sang bapak.

Usai sang bapak berkisah, si ibu langsung mengeluarkan sebuah kantong kresek dari dalam tasnya. Ia berkata bahwa dirinya sedari tadi memang sedang mencari orang miskin di RSCM yang membutuhkan bantuan. Kantong kresek itu pun lalu diletakkan di depan si bapak. Ibu itu lalu beranjak pergi.

Sang bapak hanya bisa bengong. Sesaat sadar, menghamburlah ia keluar masjid, mencari ibu yang memberikan dirinya uang dalam kantong kresek. Tapi, ibu itu sudah tidak terlihat lagi. Sadar uang dalam kantong kresek masih di dalam masjid, sang bapak kembali berlari, masuk masjid. Kantong kresek berisi uang itu masih teronggok di tempat semula.

Dibawanyalah uang itu ke bagian administrasi RSCM. Ia berkata, mudah-mudahan uang itu cukup. Ia memang tak menghitungnya lagi. Dan, setelah dihitung, uangnya pas Rp 27 juta.

Begitulah rupanya kekuatan doa. Sang bapak yang benar-benar tak tahu harus bagaimana membawa pulang putranya ke rumah, hanya bisa berdoa. Dan, nyatalah bahwa Allah itu memang amat dekat!

11.07.2007

Adelin, Hakim

Adelin Lis kini entah di mana. Setelah 5 November lalu ia dibebaskan dari sangkaan pembalakan liar hutan di Sumatera, Adelin lenyap bagai ditelan bumi. Padahal, sesaat setelah bebas dari hotel prodeo, Adelin langsung dimasukan daftar cekal oleh polisi. Korps baju coklet rupanya tak rela, upaya menciduk Adelin yang mereka lakukan sampai ke luar negeri, berbuah kesia-siaan.

Pengacaranya bilang, Adelin menghilang lantaran trauma disiksa selama di dalam bui. Kalau ada jaminan dari presiden Adelin tak lagi disiksa di penjara, pengacaranya yakin sang koruptor mau menyerahkan diri.

Hebat betul Adelin ini. Untuk menangkapnya tahun lalu saja, polisi musti bekerja keras. Adelin sempat melarikan diri, sebelum dijemput polisi di Singapura. Ketika proses persidangan kasus penebangan liarnya dilakukan di Pengadilan Negeri Medan, Adelin dapat pembelaan. Bukan cuma dari pengacaranya, tapi juga dari Menteri Kehutanan MS Kaban. Menhut menilai, Adelin tak bersalah karena ia memiliki surat-surat lengkap atas kayu yang dimilikinya. Malah, Kaban menuding polisi main gebrak sendiri, tanpa melibatkan pihak Dephut yang sudah menyodorkan sejumlah nama pemain penebangan liar. Dengan kata lain, Kaban menuduh polisi tidak mengamini daftar nama yang dibuat pihaknya.

Nama Adelin memang menghilang. Namun, di bulan basah di pengujung tahun ini, Adelin kembali membetot perhatian publik. Hakim PN Medan memutuskan Adelin tidak bersalah dalam kasus pembalakan liar. Maka, selamatlah Adelin.

Hakim memang punya hak memutuskan salah atau tidaknya seorang terdakwa di pengadilan. Itulah fungsinya sang pemutus. Keputasannya pun haruslah adil. Maka, dalam setiap persidangan dikenal asas audi alteram partem. Secara harfiah, artinya adalah "dengarkan sisi lain". Untuk pengadilan, ini berarti persidangan wajib mendengarkan kedua belah pihak (terdakwa dan pendakwa) agar persidangan berjalan adil.

Namun, di dunia ini tak pernah ada keadilan yang sesungguhnya. Yang ada hanyalah mendekati adil, karena keadilan yang sejati cuma milik Sang Khalik. Karena itulah dibutuhkan hakim untuk memutus. Tentunya, dengan seadil-adilnya. (Istilah "seadil-adilnya" ini mencerminkan tidak pernah ada keadilan yang mutlak). Artinya, hakim memang ada dalam posisi yang amat sulit. Memutuskan sebuah perkara tak cuma berdasarkan sisi hukum semata. Ada pertimbangan lain, yakni sisi keadilan dan kebenaran.

Seorang hakim seperti Bao Zheng tahu betul apa yang dinamakan kebenaran. Ia pun punya kemampuan untuk melihat mana yang benar, mana pula yang salah. Kemampuan ini datangnya cuma dari hati yang jernih dan bersih. Bukan semata-mata dari luasnya pengetahuan tentang hukum. Keluasan pengetahuan malah bisa memutarbalikan kebenaran lantaran dapat dipakai sebagai senjata pembenaran atas sesuatu yang salah. Tak salah jika Hakim Bao dijuluki Bao Qingtian (Bao si langit biru). Inilah pujian untuk seorang hakim yang bersih.

Selama menjadi hakim di Bian (sekarang Kaifeng), Bao tak pernah surut menegakkan kebenaran (bukan semata keadilan). Ia tak pernah kompromi, utamanya terhadap kecurangan berbau korupsi. Jangankan orang biasa, pejabat penting di pemerintahan pun tak luput dari bidikan pisau hukum Hakim Bao.

Para hakim yang memutus bebas Adelin memang bukan Hakim Bao. Kita tak tahu sebersih apa nurani mereka. Atas dasar apa pula mereka membebaskan Adelin. Hukum di negeri ini memang sedang kepayahan. Bagaimana hakim mau jujur, kalau pengawas mereka di Komisi Yudisial saja ternyata terciduk saat sedang menerima uang suap.

Kini, Adelin diincar lagi dengan tuduhan lain: money laundring. Tapi, dia sudah terlanjur menghilang. Ini memang ibarat main-main saja. Ditangkap, disidang, dipenjara, dilepas, diburu lagi. Ah, kita memang sepertinya hidup dalam dunia permainan saja. Adelin, di manakah kau berada?

11.05.2007

Anarkisme, Jalanan

Andai Max Stirner masih hidup sampai sekarang, mungkin ia akan menambahkan lagi bentuk lain dari individualisme ke dalam mazhabnya. Pengarang buku Der Einzige und sein Eigentum ini adalah seorang pemikir yang mengusung gagasan penonjolan persamaan kebebasan dan kebebasan individual. Andai Tuan Stirner pernah datang ke Jakarta akhir-akhir ini, boleh jadi ia akan makin yakin dengan kecenderungan manusia untuk berperilaku tanpa aturan.

Pengguna jalan di ibukota Jakarta pasti cuma sedikit yang tahu Max Stirner, yang bernama asli Johann Kaspar Schmidt ini. Tapi, perilaku mereka sebagian besar adalah gagasan lama milik Tuan Stirner: kecenderungan tanpa aturan.

Tengoklah jalanan ibukota yang kian hari kian bertambah macet. Pengguna kendaraan bermotor - roda dua maupun roda empat - sudah masuk ke dalam kategori anarki. Tak ada lagi aturan yang ditaati. Semua bergerak sesuka hati. Menerabas rambu-rambu. Pun, jalur khusus bus transjakarta alias busway, sudah tak lagi sakti mencegah kendaraan selain bus transjakarta menggunakannya.

Pengendara sepeda motor kini ibarat momok yang menakutkan di jalan raya. Selip sana, selip sini, sudah menjadi ciri khas kendaraan roda dua ini. Mungkin, ketika pertama kali Kirkpatrick MacMillan, seorang pandai besi kelahiran Skotlandia, memberikan mesin kepada sebuah sepeda angin, ia tak pernah berpikir "ciptaannya" menjadi "hantu" di jalanan.

Jika sesama pengendara sepeda motor saling senggol, sejumput kata maaf barangkali cukup. Tapi, lain halnya jika kendaraan roda empat alias mobil yang bermasalah dengan roda dua. Seakan ada kecemburuan sosial. Mobil milik orang kaya, sepeda motor bukan. Jadi, sah-sah saja pengendara sepeda motor nyolot kepada pengemudi mobil. Begitukah? Ah, lagi-lagi anarkisme berperan di sini.

***

Pembangunan jalur busway kini dituding kian memperparah kemacetan. Adalah Sutiyoso, mantan Gubernur DKI yang kini ngotot ingin jadi presiden, yang punya gawe. Konon, ia kesengsem dengan metode serupa di Bogota. Di ibukota Kolombia ini, namanya Transmilenio. Sutiyoso mungkin pernah bersua Enrique Penalosa Londono. Dia ini mantan wartawan yang nyemplung menjadi politikus. Dialah penguasa alias walikota Bogota, periode 1998 - 2000.

Namun, Bang Yos tidak sepenuhnya menjiplak gagasan Penalosa. Selain meningkatkan jumlah jalur busway, Penalosa juga mengubah 50 persen jalan raya menjadi jalur sepeda dan pejalan kaki. Dampaknya, 60 persen penduduk Bogota kini menggunakan bus, 35 persen bersepeda. Tinggal 15 persen yang tetap keukeuh dengan mobil pribadi.

Bagaimana di Jakarta? Maaf, Bang Yos. Impian Anda agar pengemudi kendaraan pribadi berpindah ke bus transjakarta, ternyata tidak kesampaian. Dari data, tak sampai 15 persen pemilik mobil yang menoleh ke transjakarta. Mayoritas pengguna bus ini rupanya berasal dari bus kota semisal Kopaja, Metromini, PPD, Mayasari Bakti.

Lha, kalau kenyataan begini, buat apa pembangunan jalur busway terus digarap? Bahkan, kawasan elite seperti Pondok Indah pun kena getahnya. Alih-alih mengurai kemacetan, pembangunan busway malah "merampok" jalan yang sudah ada.

Ujung-ujungnya, anarkismelah yang kembali terjadi. Tanpa perintah, mobil atau motor seenaknya saja beralih ke jalur busway. Lancar memang. Tapi, cobalah pengemudi mobil yang melintas di jalur busway menengok ke pengemudi mobil di kirinya. Pasti wajah asem yang ada di sebelah kiri.

Siapa yang peduli? Anarkisme individualisme sudah menjadi warna jalanan ibukota. Andai Max Stirner menyaksikan keruwetan lalu lintas Jakarta, dia pasti manggut-manggut. Ah, ternyata tak salah ia menilai kecenderungan manusia untuk berperilaku tanpa aturan....