10.08.2008

Narsisme Politisi

Kata para ABG sekarang: nggak narsis ya nggak eksis. Pasti filosofi inilah yang kini banyak dianut oleh muka-muka-tak-dikenal yang kini bertebaran di banyak sudut kota dan kampung. Namanya macam-macam, dan boleh dipastikan suluit dikenal lantaran tidak populer. Toh, kendati tidak ngetop, wajah mereka menyaingi bintang terkenal macam Luna Maya, Tamara Blezinsky, Ari Wibowo.

Ya, merekalah para politisi yang kini jualan tampang. Pastinya mereka tidak setampan Ari Wibowo atau secantik Luna Maya. Tapi, narsisme sudah kadung menjamur di negeri ini. Biar tidak dikenal, yang penting berani nampang. Semboyannya kira-kira begitulah.

Tak peduli uang keluar miliaran rupiah, hanya untuk membuat spanduk atau baliho. Belum lagi biaya perizinan untuk memasang media kampanye luar ruang tadi. Ah, yang penting tampang jadi bisa diingat orang.

Soalnya sederhana. Kalau mereka tidak dikenal orang, ya mana mungkin mereka dipilih orang pada pemilu nanti. Dan, satu-satunya cara gampang untuk beken, ya bikin spanduk, lalu dipasang di lokasi strategis yang sering dilalui orang banyak.

Kita sebagai pemilik ruang publik yang dijejali begitu banyak spanduk-jualan-tampang itu, apakah merasa terganggu? Sebagian mungkin tak peduli, artinya juga bisa jadi tidak merasa terganggu. Tapi, bisa jadi sebagian lagi - misalnya saya - menjadi tidak-enak-mata gara-gara begitu banyak gangguan di depan indera penglihatan saya. Padahal, pemandangan yang dihalangi spanduk itu, rata-rata menyejukkan mata karena berupa tanaman atau pohon.

Kalaulah yang saya pandang wajah ayu Luna Maya, tentu tak jadi masalah. Malah bisa menghilangkan pegal mata. Tapi, kalau yang terpaksa saya lihat adalah bukan siapa-siapa, yang tengah jualan tampang, ah... kok rasanya sungguh tidak indah. Apakah itu mengganggu hak asasi saya? Boleh jadi iya. Soalnya, ya itu tadi. Saya jadi kehalangan untuk memandang yang indah, sejuk, dan hijau, di tengah belantara beton ibukota.

Narsismekah para politisi itu? Kalau patokan narsisme semata-mata hanyalah berdasarkan lukisan karya Michelangelo Caravaggio yang menggambarkan Pangeran Narcissus sedang mengangumi bayangan dirinya sendiri di lantai, mungkin tidak. Tapi, jika paradigme narsisme agak kita geser sedikit, bisa jadi para politisi ini narsisme. Biasanya, orang yang narsis tidak punya rasa percaya pada diri sendiri. Orang narsis suka dengan foto diri. Nah, bukankah spanduk para politisi itu sama dengan foto diri? Bahkan, tak cukup dengan ukuran biasa. Foto para politisi dipajang dalam ukuran besar, dengan pose yang tak kalah hebatnya dari Luna Maya.

Bisakah dibuat aturan yang jelas soal pemasangan spanduk narsisme itu? Kalau tidak ada aturan, ngeri juga jadinya. Siapa pun politisi yang punya uang banyak, bisa memasang spanduk dirinya di mana-mana. Bahkan, dalam ukuran raksasa. Duh, negeri ini memang kian aneh saja....

No comments: