10.08.2008

Pelanginya Laskar Pelangi

Saya tak ingin berkomentar terlalu banyak soal sinematografi dan alur cerita film Laskar Pelangi. Sinematografi film ini sungguh rancak. Keindahan Belitong, landskap banyak tempat, pun detil2 yang memang seharusnya ada untuk memperindah film, ditampilkan dengan apik. Paling cuma soal jalan aspal yang kelihatannya begitu mulus dan hitam, yang sedikit mengganjal. Rasanya, jalan aspal pada tahun 1970-an, setting tahun LP, belum seperti itu. Tapi, tak mengapalah. Toh, pasti Riri Riza dan timnya kesulitan untuk mendapatkan jalan aspal persis seperti tahun 1970-an.

Alur cerita di awal film memang terasa lamban - kalau tidak mau dibilang membosankan. Tapi, ini amat wajar. Riri boleh jadi kesulitan menerjemahkan bagian awal novel karya Andrea Hirata itu karena begitu banyak tokoh yang ingin dikenalkan Andrea pada novelnya.

Kini, tinggalkanlah perdebatan soal visual atau alur cerita filmnya. Mari kita masuk ke esensi film itu sendiri. Saya adalah orang yang menganut asas film harus punya muatan mencerdaskan, menggugah, atau apa pun lah namanya. Bagi saya, film tak bisa semata-mata hadir hanya karena keindahannya. Dan, Laskar Pelangi muncul tak hanya karena indah. Muatan yang ditampilkan pada film ini sungguh padat: falsafati pendidikan, kemiskinan, perbedaan kelas, bahkan sampai pada cinta yang diam.

Apakah memang muatan itu yang sedari awal ingin ditampilkan Andrea melalui novelnya? Saya tidak begitu yakin. Saya lebih percaya bahwa Andrea hanya ingin menukilkan pengalaman masa kecilnya di Belitong - pengalaman yang saya percayai juga pernah terjadi pada sebagian besar kita saat masih kecil dan tinggal di pelosok. (Dulu ada novel pendek berjudul Opera Kampung Manggis, karya Arya Gunawan, yang mengisahkan tentang pengalaman masa kecil di Jambi).

Simak pula para tokoh anak-anak pada novel LP. Lintang? Ah, bagi yang pernah membaca biografi B.J. Habibie, pasti tahu kalau presiden ketiga RI itu punya pengalaman yang mirip Lintang: menempuh perjalanan jauh untuk bersekolah. Atau, cinta monyet Ikal dan A Ling? Saya jadi teringat seorang teman perempuan keturunan Tionghoa, yang dulu sempat saya taksir semasa SD. Borek alias Samson? Pemakaian bola kasti untuk memperbesar otot, dulu juga pernah dilakukan kawan saya di kampung. Figur para guru: Pak Harfan, Bu Mus, Pak Bakri - pastinya banyak di seantero Nusantara - bahkan sampai sekarang.

Jadi, sejatinya tak ada yang begitu istimewa pada penokohan LP. Lantas, mengapa kisah ini bisa begitu menginspirasi? Jawabnya gampang: kesederhanaan menjadi pintu utamanya. Kesederhanaan menatap hidup, kesederhanaan perilaku, kesederhanaan penjiwaan pendidikan, bahkan sampai kepada kesederhanaan cinta - yang lagi-lagi sebagian diam.

Kesederhanaan ini pula yang akhirnya akan menjadi kebersahajaan. Kesederhanaan ini pula yang akhirnya akan menggumpalkan harapan (ayah Lintang yang begitu kukuh pendirian supaya anaknya bisa bersekolah). Kesederhanaan ini pula yang akhirnya akan mendedahkan kemurnian hati.

Tak salah bila Fadjroel Rachman berucap, politisi yang menonton film ini tapi tidak menangis, tentunya hatinya sudah membatu (Kompas, 8/10). (Di tengah bising suasana politik menjelang pemilu dan pilpres 2009, film LP sedikit banyak mengurai kejengkelan kita terhadap spanduk narsis para politisi yang bertebaran di sepanjang jalan).

(Memang, ada politisi yang begitu peduli dengan LP. Malah, sang politisi bersedia memdanai kalau LP akan dibuat sekuelnya. Setelah membaca beritanya, saya buru-buru sms Riri. Saya bilang, jangan sampai keindahan substantif LP dicemari nilai-nilai politik praktis, dengan cara menerima tawaran sang politisi yang iklannya ada di mana-mana itu. Untunglah Riri tanggap, dan menjamin saya tidak akan menerima tawaran itu.)

Biarkanlah film Laskar Pelangi berada pada kodratnya sendiri: menjadi pelipur di tengah carut-marut bangsa. Kalaulah langit berwarna biru, atau putih, atau gabungan keduanya, biarlah LP menjadi pelanginya: spektrum cahaya kontinyu yang muncul di langit sewaktu matahari bersinar ke atas titik air hujan yang jatuh. Ibarat pelangi, tak satu - atau dua warna - saja yang ada di langit.

No comments: