11.05.2007

Anarkisme, Jalanan

Andai Max Stirner masih hidup sampai sekarang, mungkin ia akan menambahkan lagi bentuk lain dari individualisme ke dalam mazhabnya. Pengarang buku Der Einzige und sein Eigentum ini adalah seorang pemikir yang mengusung gagasan penonjolan persamaan kebebasan dan kebebasan individual. Andai Tuan Stirner pernah datang ke Jakarta akhir-akhir ini, boleh jadi ia akan makin yakin dengan kecenderungan manusia untuk berperilaku tanpa aturan.

Pengguna jalan di ibukota Jakarta pasti cuma sedikit yang tahu Max Stirner, yang bernama asli Johann Kaspar Schmidt ini. Tapi, perilaku mereka sebagian besar adalah gagasan lama milik Tuan Stirner: kecenderungan tanpa aturan.

Tengoklah jalanan ibukota yang kian hari kian bertambah macet. Pengguna kendaraan bermotor - roda dua maupun roda empat - sudah masuk ke dalam kategori anarki. Tak ada lagi aturan yang ditaati. Semua bergerak sesuka hati. Menerabas rambu-rambu. Pun, jalur khusus bus transjakarta alias busway, sudah tak lagi sakti mencegah kendaraan selain bus transjakarta menggunakannya.

Pengendara sepeda motor kini ibarat momok yang menakutkan di jalan raya. Selip sana, selip sini, sudah menjadi ciri khas kendaraan roda dua ini. Mungkin, ketika pertama kali Kirkpatrick MacMillan, seorang pandai besi kelahiran Skotlandia, memberikan mesin kepada sebuah sepeda angin, ia tak pernah berpikir "ciptaannya" menjadi "hantu" di jalanan.

Jika sesama pengendara sepeda motor saling senggol, sejumput kata maaf barangkali cukup. Tapi, lain halnya jika kendaraan roda empat alias mobil yang bermasalah dengan roda dua. Seakan ada kecemburuan sosial. Mobil milik orang kaya, sepeda motor bukan. Jadi, sah-sah saja pengendara sepeda motor nyolot kepada pengemudi mobil. Begitukah? Ah, lagi-lagi anarkisme berperan di sini.

***

Pembangunan jalur busway kini dituding kian memperparah kemacetan. Adalah Sutiyoso, mantan Gubernur DKI yang kini ngotot ingin jadi presiden, yang punya gawe. Konon, ia kesengsem dengan metode serupa di Bogota. Di ibukota Kolombia ini, namanya Transmilenio. Sutiyoso mungkin pernah bersua Enrique Penalosa Londono. Dia ini mantan wartawan yang nyemplung menjadi politikus. Dialah penguasa alias walikota Bogota, periode 1998 - 2000.

Namun, Bang Yos tidak sepenuhnya menjiplak gagasan Penalosa. Selain meningkatkan jumlah jalur busway, Penalosa juga mengubah 50 persen jalan raya menjadi jalur sepeda dan pejalan kaki. Dampaknya, 60 persen penduduk Bogota kini menggunakan bus, 35 persen bersepeda. Tinggal 15 persen yang tetap keukeuh dengan mobil pribadi.

Bagaimana di Jakarta? Maaf, Bang Yos. Impian Anda agar pengemudi kendaraan pribadi berpindah ke bus transjakarta, ternyata tidak kesampaian. Dari data, tak sampai 15 persen pemilik mobil yang menoleh ke transjakarta. Mayoritas pengguna bus ini rupanya berasal dari bus kota semisal Kopaja, Metromini, PPD, Mayasari Bakti.

Lha, kalau kenyataan begini, buat apa pembangunan jalur busway terus digarap? Bahkan, kawasan elite seperti Pondok Indah pun kena getahnya. Alih-alih mengurai kemacetan, pembangunan busway malah "merampok" jalan yang sudah ada.

Ujung-ujungnya, anarkismelah yang kembali terjadi. Tanpa perintah, mobil atau motor seenaknya saja beralih ke jalur busway. Lancar memang. Tapi, cobalah pengemudi mobil yang melintas di jalur busway menengok ke pengemudi mobil di kirinya. Pasti wajah asem yang ada di sebelah kiri.

Siapa yang peduli? Anarkisme individualisme sudah menjadi warna jalanan ibukota. Andai Max Stirner menyaksikan keruwetan lalu lintas Jakarta, dia pasti manggut-manggut. Ah, ternyata tak salah ia menilai kecenderungan manusia untuk berperilaku tanpa aturan....




No comments: