11.07.2007

Adelin, Hakim

Adelin Lis kini entah di mana. Setelah 5 November lalu ia dibebaskan dari sangkaan pembalakan liar hutan di Sumatera, Adelin lenyap bagai ditelan bumi. Padahal, sesaat setelah bebas dari hotel prodeo, Adelin langsung dimasukan daftar cekal oleh polisi. Korps baju coklet rupanya tak rela, upaya menciduk Adelin yang mereka lakukan sampai ke luar negeri, berbuah kesia-siaan.

Pengacaranya bilang, Adelin menghilang lantaran trauma disiksa selama di dalam bui. Kalau ada jaminan dari presiden Adelin tak lagi disiksa di penjara, pengacaranya yakin sang koruptor mau menyerahkan diri.

Hebat betul Adelin ini. Untuk menangkapnya tahun lalu saja, polisi musti bekerja keras. Adelin sempat melarikan diri, sebelum dijemput polisi di Singapura. Ketika proses persidangan kasus penebangan liarnya dilakukan di Pengadilan Negeri Medan, Adelin dapat pembelaan. Bukan cuma dari pengacaranya, tapi juga dari Menteri Kehutanan MS Kaban. Menhut menilai, Adelin tak bersalah karena ia memiliki surat-surat lengkap atas kayu yang dimilikinya. Malah, Kaban menuding polisi main gebrak sendiri, tanpa melibatkan pihak Dephut yang sudah menyodorkan sejumlah nama pemain penebangan liar. Dengan kata lain, Kaban menuduh polisi tidak mengamini daftar nama yang dibuat pihaknya.

Nama Adelin memang menghilang. Namun, di bulan basah di pengujung tahun ini, Adelin kembali membetot perhatian publik. Hakim PN Medan memutuskan Adelin tidak bersalah dalam kasus pembalakan liar. Maka, selamatlah Adelin.

Hakim memang punya hak memutuskan salah atau tidaknya seorang terdakwa di pengadilan. Itulah fungsinya sang pemutus. Keputasannya pun haruslah adil. Maka, dalam setiap persidangan dikenal asas audi alteram partem. Secara harfiah, artinya adalah "dengarkan sisi lain". Untuk pengadilan, ini berarti persidangan wajib mendengarkan kedua belah pihak (terdakwa dan pendakwa) agar persidangan berjalan adil.

Namun, di dunia ini tak pernah ada keadilan yang sesungguhnya. Yang ada hanyalah mendekati adil, karena keadilan yang sejati cuma milik Sang Khalik. Karena itulah dibutuhkan hakim untuk memutus. Tentunya, dengan seadil-adilnya. (Istilah "seadil-adilnya" ini mencerminkan tidak pernah ada keadilan yang mutlak). Artinya, hakim memang ada dalam posisi yang amat sulit. Memutuskan sebuah perkara tak cuma berdasarkan sisi hukum semata. Ada pertimbangan lain, yakni sisi keadilan dan kebenaran.

Seorang hakim seperti Bao Zheng tahu betul apa yang dinamakan kebenaran. Ia pun punya kemampuan untuk melihat mana yang benar, mana pula yang salah. Kemampuan ini datangnya cuma dari hati yang jernih dan bersih. Bukan semata-mata dari luasnya pengetahuan tentang hukum. Keluasan pengetahuan malah bisa memutarbalikan kebenaran lantaran dapat dipakai sebagai senjata pembenaran atas sesuatu yang salah. Tak salah jika Hakim Bao dijuluki Bao Qingtian (Bao si langit biru). Inilah pujian untuk seorang hakim yang bersih.

Selama menjadi hakim di Bian (sekarang Kaifeng), Bao tak pernah surut menegakkan kebenaran (bukan semata keadilan). Ia tak pernah kompromi, utamanya terhadap kecurangan berbau korupsi. Jangankan orang biasa, pejabat penting di pemerintahan pun tak luput dari bidikan pisau hukum Hakim Bao.

Para hakim yang memutus bebas Adelin memang bukan Hakim Bao. Kita tak tahu sebersih apa nurani mereka. Atas dasar apa pula mereka membebaskan Adelin. Hukum di negeri ini memang sedang kepayahan. Bagaimana hakim mau jujur, kalau pengawas mereka di Komisi Yudisial saja ternyata terciduk saat sedang menerima uang suap.

Kini, Adelin diincar lagi dengan tuduhan lain: money laundring. Tapi, dia sudah terlanjur menghilang. Ini memang ibarat main-main saja. Ditangkap, disidang, dipenjara, dilepas, diburu lagi. Ah, kita memang sepertinya hidup dalam dunia permainan saja. Adelin, di manakah kau berada?

No comments: