11.05.2007

Perkosaan, Tuhan, dan Ponsel

"BIAR TUHAN YANG MENGHAKIMI SEMUANYA." Inilah kutipan kalimat dari Maryana, seorang ibu berusia 54 tahun, di Bandar Lampung. Kisah ini begitu miris. Ngilu. Maka,sebelum kulanjutkan tulisan Catatan Perjalanan, izinkan lebih dulu kubuat tulisan ini.

Sontak saja, ketika aku sedang membaca TEMPO yang terbit Senin ini (5/11), kebiadaban bermain di pelupuk mataku. Pernahkan terbayangkan, seorang gadis berumur 13 tahun, diperkosa beramai-ramai. Adegan mesun di bawah pohon di dekat kuburan ini direkam pula dengan sebuah telepon seluler (ponsel). Biadab!

Rasanya pasti habis sudah air mata Maryana mengetahui putrinya diperkosa. Maka, tak salah kalimatnya di atas: "Biar Tuhan yang menghakimi semuanya". Kalimat ini adalah bentuk kepasrahan seorang papa seperti Maryana. Dengan upah Rp 10 ribu sehari sebagai tukang kebun, bersusah payah ia membiayai sekolah putrinya. Maryana pastilah bukan hendak menjadi seorang fatalis. Boleh jadi, sebagai orang kecil, Maryana sudah tak punya harapan lagi terhadap hukum dan hakim. Jamak diketahui, hukum dan hakim di negeri ini tak ubahnya seperti barang komoditas: bisa diperjual-belikan.

Maryana juga pasti tak mengenal Muhammad Ibnu Abbad, seorang filsuf Islam yang lahir di Spanyol, pada abad ke-14. Ibnu Abbad mengajarkan agar manusia harus memiliki keyakinan dan kepercayaan penuh kepada kearifan Tuhan. Pun, dalam ihwal menjatuhkan hukuman bagi umatnya yang jelas-jelas melanggar hukum Tuhan.

Lalu, mengapa ponsel? Alat komunikasi canggih yang satu ini ternyata juga sudah banyak berubah fungsi. Sejak rintisan pertama komunikasi nirkabel yang dicetuskan oleh Lars Magnus Ericsson pada 1910 lalu, perkembangan teknologi komunikasi kian hari kian membuat miris. Ponsel modern kini sebagian besar sudah dilengkapi dengan kamera. Tak cuma bisa membidik dan menghasilkan foto (gambar still), ponsel kini pun sudah dilengkapi dengan teknologi video.

Foto-foto dan video porno yang berseliweran di dunia maya, banyak yang direkam oleh ponsel. Alhasil, kemesuman kini sudah sangat gampang menghampiri keseharian kita. Sekat bernama moralitas sudah bukan lagi menjadi penjaga ampuh.

Begitulah. Teknologi canggih bernama ponsel inilah yang dipakai para pemerkosa putri Maryana. Oleh polisi setempat, ponsel ini sudah dijadikan barang bukti, agar pelaku tak bisa berkelit. Tapi, apakah bukti yang begitu kuat ini bisa menjerat pelakunya, lalu menghukum dengan seadil-adilnya? Inilah yang Maryana tak percaya. Maka, berkatalah sang ibu tua ini: "Biar Tuhan yang menghakimi semuanya."


No comments: