9.24.2007

Kisah Si Baju Cokelat

Ini bukan main-main. Rupanya, korupsi itu kini ternyata sudah dilakukan secara berjamaah. Ceritanya begini. Minggu lalu saya ke Yogya. Di kota gudeg, saya berjumpa seorang teman. Istrinya seorang polisi, dengan pangkat - kalau tidak salah - IPTU. Ngobrol ngalor-ngidul ke sana ke mari, akhirnya berkisahlah saya teman saya itu - sebut saja namanya X - tentang perilaku istrinya dan juga institusi tempat istrinya bekerja.

Tanpa sungkan, X mengaku kalau istrinya amat sering mendapatkan "durian runtuh". Bentuknya apalagi kalau bukan uang hasil korupsi. Modusnya macam-macam. Kisah si X, pernah suatu ketika istrinya menangkap seoarang Cina kaya dari Jakarta di sebuah diskotik. Sang pengusaha ini memang sudah dikuntit sejak dari bandara Yogya. Jadi, ketika digrebek polisi di diskotik, tertangkap tanganlah sang pengusaha sedang menggunakan obat terlarang. Tapi, jumlahnya amat minim: 2 butir ekstasi. Mau tahu berapa uang yang dikeluarkan sang pengusaha, agar dirinya tidak masuk bui? Fantastis: Rp 50 juta.

Ini baru satu cerita. Contoh yang lain ialah bila institusi baju cokelat itu sedang mengadakan penerimaan calon bintara. Nah, kata teman saya si X, masa-masa seperti ini, rumahnya selalu diserbu calon bintara dan orang tuanya. Tentu saja dengan membawa plastik atau koper berisi uang. Uang itu nantinya akan disetor kepada pejabat polisi yang lebih tinggi lagi.

Jadi, kata teman saya si X, jangan heran bila perwira polisi sugih-sugih. Gaji boleh kecil, tapi pendapatannya luar biasa. Kata teman saya si X, sebulan biasanya istrinya bisa mengantungi uang di luar gaji resmi, mencapai Rp 25 juta.

Saya kan penasaran, lalu bertanya, mengapa istrinya melakukan itu? Teman saya si X menjawab bahwa istrinya sedang mengumpulkan uang untuk persiapan sekolah lagi. "Apa Mas kira mau sekolah lagi itu gak butuh biaya?" tanya si X. Ia lalu menyebut, untuk masuk ke **** harus bayar Rp 150 juta. Untuk ****** setor sampai Rp 400 juta.

Idih. Bergidik bulu kuduk saya mendengar kisah teman saya si X. Lha, kalau sudah begini, kira-kira mau dibawa ke mana ya negara kita? Hukum bisa dibeli, mau sekolah kudu nyogok, atasan yang rakus, dlsb.. dlsb... Dan, kasus ini terjadi pada lembaga hukum lho...

No comments: