Kalau Anda tinggal di Depok, atau berkunjung ke daerah yang katanya satelitnya Jakarta ini, temukanlah beberapa buah baliho raksasa di lokasi-lokasi strategis. Setidaknya, saya mencatat ada 3 baliho yang akan saya bahas pada tulisan ini. Sungguh luar biasa baliho ini.
Gambarnya adalah walikota Depok dengan beberapa jajarannya. Belakangan, Pak Nur Mahmudi, sang walikota yang saya maksud, memang sering tampil lewat baliho-baliho raksasa. Tentu saja cuma di wilayah kerjanya, di Depok. Dulu Pak Nur sempat mempromosikan Depok sebagai kota belimbing. Balihonya ada di pertigaan lampu merah Margoda, setelah Depok Mal, sebelum terminal. Jujur, saya tidak begitu tahu persis, apakah memang benar belimbing banyak ditanam oleh warga Depok, sehingga Depok pantas dijuluki "kota belimbing". Atau, misalnya, buah belimbing gampang ditemui di seantero Depok. Tapi, itu tak mengapalah. Sah-sah saja Pak Nur menjadikan Depok sebagai "kota belimbing".
Nah, kalau baliho yang satu ini - muncul setidaknya sebulan belakangan - begitu menggelitik pemikiran saya. Isinya amat provokatif. Tulisannya begini: "Kembalikan Jati Diri Bangsa. Gunakan tangan kanan untuk makan". Nah lho. Tidakkah ini suatu ungkapan yang luar biasa? Terus terang, saya jadi terkaget-kaget sewaktu pertama kali membaca tulisan pada baliho itu.
Pertanyaannya amat gampang: apa iya jati diri bangsa = makan dengan tangan kanan? Bagi saya, kok ini rasanya begitu sempit ya? Perihal makan dengan tangan kanan, setahu saya, junjungan saya, Nabi Muhammad SAW, memang menganjurkannya demikian. Jadi, ini adalah sebuah kelumrahan - utamanya bagi umat Muslim.
Saya jadi meneruskan pertanyaan dalam hati saya: mengapa tidak misalnya mengukur jati diri bangsa dengan sesuatu yang lebih besar. Umpamanya, pada baliho itu tertulis: "Kembalikan Jati Diri Bangsa. Jangan Umbar Sumberdaya Alam kepada Pihak Asing". Atau: "Kembalikan Jati Diri Bangsa. Jangan Simpan Dolar. Jangan Taruh Modal di Negeri Tetangga".
Waduh, kok ngeri amat ya? Boleh jadi begitu. Tapi, bukankah yang saya sebut di atas lebih luas daya cakupnya? Atau, barangkali saja Pak Nur tidak mau begitu mencolok, mengumbar kata-kata yang rada agitatif.
Namun, persoalannya kemudian adalah ketidakpedulian warga Depok. Buat apa juga mikir harus makan dengan tangan apa - kiri atau kanan - demi mengembalikan jati diri bangsa. Saya yakin, pasti ada warga Depok (atau wilayah lain yang sedang main ke Depok), dalam hatinya ngerasanin: idih, jangankan makan dengan tangan kanan, mau makan apa hari ini kami tidak tahu. Alias, pasti ada orang yang sama sekali tak tahu apa yang bisa dimakannya, membaca baliho itu. Lha, bagaimana mau menyuapkan makanan dengan tangan kanan, kalau yang dimakan tidak ada. Masak sih harus seolah-olah ada makanan, lalu dimasukkan ke mulut dengan tangan kanan?
Jadi, alangkah lebih eloknya kalau balihonya berbunyi: "Kembalikan Jati Diri Bangsa. Jangan Biarkan Anak Bangsa Kelaparan".
Gambarnya adalah walikota Depok dengan beberapa jajarannya. Belakangan, Pak Nur Mahmudi, sang walikota yang saya maksud, memang sering tampil lewat baliho-baliho raksasa. Tentu saja cuma di wilayah kerjanya, di Depok. Dulu Pak Nur sempat mempromosikan Depok sebagai kota belimbing. Balihonya ada di pertigaan lampu merah Margoda, setelah Depok Mal, sebelum terminal. Jujur, saya tidak begitu tahu persis, apakah memang benar belimbing banyak ditanam oleh warga Depok, sehingga Depok pantas dijuluki "kota belimbing". Atau, misalnya, buah belimbing gampang ditemui di seantero Depok. Tapi, itu tak mengapalah. Sah-sah saja Pak Nur menjadikan Depok sebagai "kota belimbing".
Nah, kalau baliho yang satu ini - muncul setidaknya sebulan belakangan - begitu menggelitik pemikiran saya. Isinya amat provokatif. Tulisannya begini: "Kembalikan Jati Diri Bangsa. Gunakan tangan kanan untuk makan". Nah lho. Tidakkah ini suatu ungkapan yang luar biasa? Terus terang, saya jadi terkaget-kaget sewaktu pertama kali membaca tulisan pada baliho itu.
Pertanyaannya amat gampang: apa iya jati diri bangsa = makan dengan tangan kanan? Bagi saya, kok ini rasanya begitu sempit ya? Perihal makan dengan tangan kanan, setahu saya, junjungan saya, Nabi Muhammad SAW, memang menganjurkannya demikian. Jadi, ini adalah sebuah kelumrahan - utamanya bagi umat Muslim.
Saya jadi meneruskan pertanyaan dalam hati saya: mengapa tidak misalnya mengukur jati diri bangsa dengan sesuatu yang lebih besar. Umpamanya, pada baliho itu tertulis: "Kembalikan Jati Diri Bangsa. Jangan Umbar Sumberdaya Alam kepada Pihak Asing". Atau: "Kembalikan Jati Diri Bangsa. Jangan Simpan Dolar. Jangan Taruh Modal di Negeri Tetangga".
Waduh, kok ngeri amat ya? Boleh jadi begitu. Tapi, bukankah yang saya sebut di atas lebih luas daya cakupnya? Atau, barangkali saja Pak Nur tidak mau begitu mencolok, mengumbar kata-kata yang rada agitatif.
Namun, persoalannya kemudian adalah ketidakpedulian warga Depok. Buat apa juga mikir harus makan dengan tangan apa - kiri atau kanan - demi mengembalikan jati diri bangsa. Saya yakin, pasti ada warga Depok (atau wilayah lain yang sedang main ke Depok), dalam hatinya ngerasanin: idih, jangankan makan dengan tangan kanan, mau makan apa hari ini kami tidak tahu. Alias, pasti ada orang yang sama sekali tak tahu apa yang bisa dimakannya, membaca baliho itu. Lha, bagaimana mau menyuapkan makanan dengan tangan kanan, kalau yang dimakan tidak ada. Masak sih harus seolah-olah ada makanan, lalu dimasukkan ke mulut dengan tangan kanan?
Jadi, alangkah lebih eloknya kalau balihonya berbunyi: "Kembalikan Jati Diri Bangsa. Jangan Biarkan Anak Bangsa Kelaparan".